rss

Jumat, 28 Agustus 2009

Cerpen - Tandu PMR

TANDU PMR

Iwan, seorang siswa kelas 3 SMA yang belum jelas masa depannya, berperawakan tinggi, agak kurus dan rambut keriting yang setiap paginya selalu menyibukkan diri tongkrongan bersama teman – temannya di jembatan penyebrangan yang baru selesai di bangun. Membuat orang – orang penuh dengan tanda tanya mengapa anak seperti Iwan bisa di terima di salah satu SMA favorit yang menjadi dambaan ratusan siswa yang harus menerima kalah dari perhelatan Penerimaan Siswa Baru, entah metode apa yang ia gunakan sehingga ia dapat menikmati pelajaran dari sekolah yang dipandang tinggi oleh masyarakat setempat.

Setiap pagi terlalu banyak angkutan umum yang berhenti hanya untuk sekedar menawarinya naik agar tidak terlambat ke sekolah.

“Ayo nak cepat naik!”ajakan kernet angkutan.
“No way……Pak”jawab Iwan.
“Ayo nak cepat naik angkutan mau berangkat”ajakan kedua dari kernet angkutan.
“No way …..no way, you understand Mr.”jelas Iwan.
“Yes…..yes…….”jawaban seadanya oleh kernet mikro.

Walaupun nilai bahasa inggrisnya tak pernah lebih dari 7 ( tujuh ) ia tetap memakai kata itu setiap ada kernet angkutan umum yang menawarinya naik dan terkadang membuat pedagang gorengan yang setiap paginya sudah “Ready” dari jam 5 pagi tertawa lepas.

“Hahaha……hahaha….”itulah gaya tertawa yang terdengar setiap paginya”

Wanita tua berumur 60 tahunan yang tinggal sendiri di rumah yang serba sederhana, berdagang dengan penuh semangat hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan primernya, wanita yang semangatnya takkan pudar oleh waktu dan oleh zaman.

Sudah menjadi kebisaaan bagi Iwan berangkat sekolah jika angkutan umum hanya berisikan segelintir orang yang menandakan anak – anak sekolah sudah menjejakkan kakinya di sekolahnya masing – masing, bel masuk sekolah pun sudah berdering menandakan tanda akan segera dimulainya pelajaran. Sudah menjadi rutinitas Iwan menghadapi Bu Suryani salah satu petugas piket yang setiap harinya harus mendaftar anak – anak yang terlambat datang kesekolah.

Seorang petugas piket yang sudah mengabdikan diri selama 6 tahun, map merah yang setiap hari ia gunakan sudah menjadi ciri khas tersendiri bagi Bu Suryani.

“Iwan apa kamu tidak bosan terlambat setiap hari”sapa Bu Suryani.
“Maaf bu jam di rumah saya baterainya mati oleh karena itu saya terlambat”jelas Iwan.
“Apakah jam dirumah kamu hanya satu Iwan”tanya Bu Suryani.
“Jam di rumah saya ada 2 Bu yang pertama baterainya mati yang kedua rusak Bu”jelas iwan.

Iwan pun selalu mempunyai alasan mengapa ia terlambat datang ke sekolah kepada Bu Suryani, tanpa basa basi lagi Bu Suryani langsung menggoreskan penanya untuk menuliskan daftar anak yang terlambat hari itu karena Bu Suryani sudah kehabisan akal menghadapi 1001 alasan Iwan, tetapi Iwan juga harus menerima hukumannya yaitu tidak diperkenankan mengikuti 2 jam pelajaran pertama, dan hanya satu tempat yang selalu terlintas di benak Iwan tempat yang nyaman penuh dengan makanan tempat itu adalah kantin sekolah.

Setiap pagi Iwan selalu menampakan batang hidungnya di depan Bu Siti penjaga kantin sekolah yang menandakan Iwan terlambat lagi pagi ini.

“Kamu telat lagi Wan”sapa Bu siti.
“Biasa Bu males berangkat pagi”jawab Iwan seadanya.
“Tapi apa kamu tidak rugi Wan, 2 jam pelajaran kamu sia – siakan”nasihat Bu Siti.
“Saya sudah pintar Bu tidak perlu meneima pelajaran”jawab Iwan dengan angkuhnya.
“Ya sudahlah, mau pesan apa Wan”tanya Bu Siti.
“Bakso dan segelas es teh Bu”jelas Iwan.

Iwan sangat akrab dengan Bu Siti karena setiap pagi Bu Sitilah yang menemaninya menghabiskan 2 jam pelajaran sementara teman yang lain sedang menerima ilmu yang sangat berharga. Iwan masih sibuk melahap semangkuk bakso dan segelas es jeruk yang menjadi menu andalan di kantin sekolah, Iwan pun tak pernah memperdulikan betapa berharganya ilmu yang ia sia – siakan di setiap paginya.

Iwan memasuki kelas dengan keadaan kenyang dan rasa kantuk yang tak tertahankan dikarenakan kegiatan begadang yang ia jadikan rutinitas hariannya demi mendukung tim – tim sepak bola kebanggaanya ia rela tidur larut malam bahkan sampai tidak tidur semalaman, jam pelajaranpun ia jadikan sebagai waktu istirahat yang paling ideal .

Tugas harian dan Pekerjaan Rumah sedikitpun tak pernah berusaha mengerjakan, jika ada guru yang menyuruhnya mengerjakan soal di papan tulis ia hanya terdiam dan membisu seakan tak mau tahu dan tak ingin tahu jawaban dari soal yang ia harus selesaikan, akhirnya ada seorang guru yaitu Pak Yudi seorang guru fisika yang geram karena tingkah laku Iwan dan keluarlah 3 kata yang memecahkan keheningan kelas saat semuanya serius mengerjakan Latian soal fisika dari Pak Yudi.

“Iwan coba kerjakan Latihan soal Fisika Bab 2 nomor 5 ”perintah Pak Yudi
“Saya nggak bias pak”jawab Iwan.
“Coba dulu”bujuk Pak yudi.
“Saya nggak bias Pak suruh yang lain aja”perintah Iwan.
“Dasar berandal Sekolah…………….!!!Keluar……..”bentak Pak Yudi.

Karena kejadian itu hampir semua siswa memanggilnya berandal sekolah dan tak jarang teman – temannya mengejek Iwan jika sedang berpapasan.

“Awas berandal sekolah lewat”ejek teman – teman Iwan

Kejadian tersebut selalu diwarnai oleh keributan dan mau tidak mau harus menghadap Komisi Penertib Sekolah ( KPB ) dan selalu Iwan yang menjadi pihak yang bersalah dan karena terlalu sering bermasalah dengan sekolah Iwan pun dianggap jelek oleh para guru dan teman – temannya.

Iwan pun dikucilkan oleh teman –temannya, para guru dan bahkan sampai masyarakat ditempat ia tinggal, sejak saat itulah Iwan sering melamun, terdiam dan entah apa yang sedang dipikirkan. Berapa kali terdengar kabar bahwa Iwan kepergok melakukan percobaan bunuh diri, Iwan selalu berkata dirinya adalah manusia yang tak pantas hidup didunia.

Jarum jam telah menunjukan angka 10.00, pelajaran Matematika pun sedang berlangsung Iwan pun masih terdiam membisu, melamun melihat awan yang tak berbentuk lewat jendela yang cukup lebar tak sengaja melihat wali kelasnya berjalan menggandeng seorang siswi putri yang sangat cantik, bermata indah, berkulit putih dan berkerudung.

Tanpa disangka sebelumnya oleh Iwan ia pun tersenyum kecil kepada Iwan, Iwan pun tak sempat mengatakan sepatah katapun seakan lidahnya menjadi kelu, degub jantung Iwan seakan lebih kencang berdetak, ia pun tak sempat mengedipkan mata walau tuk sekali saja.

Tetapi kejutan bagi Iwan tidak sampai disitu, terdengar ketukan dari pintu kelas yang sengaja ditutup oleh guru yang sedang mengajar karena sinar matahari yang menyinari papan tulis membuat tulisan di papan tulis menjadi tak jelas, wali kelaspun masuk bersama siswi putri setelah dipersilahkan, ternyata namanya adalah Adita Putri Mahardika seorang siswi pindahan dari Ibu Kota itulah yang ia katakatanya sewaktu perkenalan tadi. Hal yang membuat Iwan kaget yang menyebabkan keringat keluar dari badannya adalah Adita dipersilahkan duduk di bangku yang masih kosong dan hanya ada satu bangku yang tidah berpenghuni yaitu bangku samping Iwan karena tidak ada yang mau duduk bersebelahan dengan Iwan.

Pada saat itu sistem duduk yang digunakan adalah dua bangku satu meja, tanpa disadari oleh Iwan Adita telah duduk disebelahnya dan mengulurkan tangannya yang menandakan ingin berkenalan dengan Iwan, dengan sangat gugup Iwan menyambutnya.

“hai….namaku Adita”sapa Adita.
“ha….hai adita namaku Iwan”jawab Iwan.
“Salam kenal ya Wan, moga kita bisa jadi teman yang baik”jelas Adita dengan penuh senyuman.
“ya……Adita”jawab Iwan seadanya.

Seiring berjalannya waktu Iwan menjadi semakin akrab dengan Adita dan menganggap Adita sebagai teman yang bisa mengerti Iwan apa adanya, senyum dari Iwan sekarang sering mewarnainya di setiap pagi karena lawakan dari Adita, Iwan selalu berangkat lebih awal hanya untuk bisa berbincang dengan Adita, Adita adalah anak yang rajin, mandiri, berprinsip dan juga pintar. Lambat laun Iwan merasa tergugah oleh sifat – sifat Adita apalagi ia adalah anak yang aktif dalam organisasi dari OSIS, Pecinta Alam, Pramuka dan mengikuti bimbel pelajaran – pelajaran yang dianggap sulit.

Semakin hari Iwan mencoba mebuat dirinya seperti Adita, Iwan mulai mengenal dengan yang namanya belajar, mengerjakan tugas harian, mengerjakan tugas, belajar bersosialisasi, sungguh Iwan mengubah kebisaaan buruknya menjadi hal yang patut diberi acungan jempol oleh siapapun.

Teman – temannya, dewan guru dan masyarakat ditempat ia tinggal seakan tak percaya akan perubahan yang terjadi pada Iwan. Ia pun semakin menunjukan bahwa ia ingin berubah menjadi lebih baik dari mulai mengikuti bimbel pelajaran – pelajaran sulit bersama Adita sampai mengikuti organisasi yang dianggap mampu ia ikuti. Iwan menjadi sosok yang bukan berandal sekolah lagi, sosok yang ceria, penuh semangat dan ramah.

Iwan pun pergi ke ruang PMR ingin mencalonkan diri untuk menjadi anggota PMR dan tak disangka sebelumnya oleh Iwan bahwa Adita pun ingin masuk menjadi angota PMR.

“Adita juga mau jadi anggota PMR ya”Tanya Iwan.
“Iya ni Wan, Iwan juga mau jadi anggota PMR ya”jelas Adita.
“Huum ni Dit kita jadi sering bareng ni…..,hehe”canda Iwan.
“akh Iwan bisa aja, berarti kita kompak Wan,hehe….”canda Adita.

Rasa kaget dan senangpun terjadi di benak Iwan karena Iwan akan lebih sering bertemu dengan Adita, sebenarnya Iwan telah menyimpan rasa cinta kepada Adita karena belum ada keberanian untuk mengungkapkannya maka Iwan masih menyimpannya di dalam lubuk hati yang terdalam.

Pertengahan semester 1 kelas 3 SMA Iwan berusaha memperbaiki dirinya dan Aditalah yang menjadi motivatornya terbesarnya. Adita Putri Mahardika seorang sosok wanita yang telah melululuhkan dan mengubah Iwan. Hingga Ujian Semester selesai dan libur umum pun tiba. Hari libur telah dimanfaatkan iwan dengan cara yang berbeda dengan yang lain iwan menghabiskan liburannya dengan belajar dan belajar. Hari pertama masuk di semester 2 kelas 3 Iwan telah di hadapkan oleh pelajaran yang menguras kerja otak untuk berpikir, hari yang diwarnai hujan setiap paginya dikarenakan telah memasuki musim penghujan, ditengah – tengah keseriusan belajar tiba – tiba terdengar pengumuman yang menyebutkan.

“Mohon maaf kepada guru yang sedang mengajar, bagi seluruh anggota PMR kelas 1, kelas 2 dan kelas 3 diharap berkumpul diruang PMR sekarang juga, Terima Kasih”terdengar dari pengeras suara kelas.

Nada yang tak biasa dan terkesan mendadak membuat seluruh anggota PMR bertanya – Tanya, Iwan dan Adita pun segera meminta ijin kepada guru yang sedang mengajar dan langsung menuju ruang PMR, sesampainya di ruang PMR Iwan dan Adita duduk bersampingan terlihat semua anggota PMR dilanda rasa penasaran karena Pembina PMR yaitu Pak Mahendra berdiri dan hanya terdiam tanpa kata, raut wajah Pak Hendra menyimbolkan keseriusan dan hal yang ditunggu akhirnya tiba, dengan setengan membentak Pak Hendra berkata.

“Telah terjadi longsor di desa Cigarut dan PMR SMA kita akan membantu para korban, longsor tersebut terjadi pagi tadi, seluruh anggota PMR di ijinkan pulang dan membawa peralatan sesuai dengan tugas yang saya bagi di depan papan tulis, dua jam kemudian kalian harus berkumpul di Lapangan Sekolahan, Terima Kasih !!!!”jelas Pak Hendra.

Iwan pun sangat bingung karena ia baru bergabung menjadi anggota PMR dan Iwan melihat dengan seksama ke papan tulis dan mencari namanya disana. Iwan dan Joko bertugas menandu korban bencana Iwan menerima tugas pertamanya yaitu memandu korban bencana yang luka parah ke tenda darurat bersama Joko nama yang terlihat asing baginya, untung saja adita dengan senang hati membantu Iwan apa saja yang harus ia bawa nanti, sedang adita sendiri bertugas di tenda darurat untuk merawat korban, setelah selesai semua anggota PMR dengan tergesa – gesa meninggalkan ruang PMR termasuk Iwan dan Adita.

Anggota PMR dengan memakai kaos kebanggaan PMR berwarna biru putih dengan peralatan yang menambah kharisma dan semua anggota nampak gagah dan siap bertempur untuk membantu para korban telah berkumpul di lapangan sekolah, Pak Hendra memberi arahan lanjutan kepada seluruh anggota PMR.

“Semua sudah berkumpul Pak mohon intruksi lebih lanjut”jelas Fahri sang ketua PMR.
“Semua anggota PMR masuk ke mobil box yang sudah di sediakkan di depan sekolah, dan perjalanan kira – kira memakan waktu 2 jam, tetapi kita akan berdoa terlebih dahulu sesuai kepercayaan masing – masing, berdoa mulai…”jelas Pak Hendra.
“Berdoa selesai tanpa penghormatan bubar jalan”jelas Pak Hendra

Semua anggota PMR bergegas dengan penuh semangat yang membara menuju mobil box, 2 jam perjalanan serasa singkat sekali bagi Iwan tetapi semua rasa semangat yang membara di dalam hati sirna dalam sekejap. Rumah – rumah sudah ditutupi tanah tangisan – tangisan mewarnai tempat itu Iwan tercengang bukan kepalang air hatinya seakan tersayat – sayat oleh kesedihan, tim SAR dan warga sibuk menggali tanah untuk mencari mayat yang belum ditemukan.

Tetapi Pak Hendra dengan suara yang hampir sama kerasnya dengan peluit memecahkan kepiluan Iwan pada saat itu.

“Semua anggota PMR cepat turun, cepat ……cepat…….cepat”bentak Pak Hendra.

Semua pun bergegas turun dan Pak Hendra pun langsung memberi arahan kepada setiap anggota PMR walau walau keringatnya sudah menganak sungai semangatnya terlihat tak akan padam oleh keletihan dan kelelahan, setelah sekitar 15 menit Pak Hendra memberi arahan Pak Hendra pun mengangkat tangannya ke depan lalu kita serempak mengikuti dan berkumpul membentuk lingkaran dan tangan pun saling bertumpukan sungguh sangat memberi semangat bagi seluruh anggota PMR yang ikut jiwa Iwan pun semakin berkobar bagai api yang melalap apa saja didepannya.

“Laksanakan tugas dengan baik, apa kalian sia……pp!!!!”tanya Pak Hendra.
“Kami akan laksanakan dengan baik, sebaik – baiknya itu janji kami, hooooiiiiiiii……”semua anggota PMR berteriak.

Kalimat terakhir yang telah menggugah Iwan, ia tampan lebih dewasa, cekatan dan awas dengan tandu di tangannya. Iwan mempunyai patner bernama Joko, Joko berperawakan tinggi dan berotot tanpa basa basi lagi Joko tersenyum sambil mengulurkan tangan yang berarti semangat dan kerjasama. Baru beberapa menit Iwan dan Joko bertugas mereka telah menandu 3 orang korban bencana dan mereka berhasil memandu ke tenda darurat dengan kondisi korban yang masih hidup tetapi tiba – tiba Iwan dan Joko dikejutkan oleh salah sati anggota tim SAR yang berteriak sangat keras.

“Tandu……tandu…….cepat……cepat……darurat!!!!”teriak Pak Budi salah satu anggota tim SAR

Iwan pun langsung berlari dan Joko pun mengikutinya dari belakang Iwan dan Joko seakan berlari melawan waktu dan sampailah Iwan dan Joko dikerubunan orang yang mengelilinginya seorang pemuda yang pingsan tak sadarkan diri yang tubuhnya penuh dengan darah tetapi orang tersebut masih hidup dengan cepat Iwan menurunkan tandu dan mengangkut pemuda tersebut bersama Joko.

Dengan keadaan setengah berlari Iwan dan joko pun berharap nyawanya masih bisa ditolong, tetapi pemuda tersebut terbangun dan menjerit sangat keras. Air mata pun mengalir tak tertahankan, rintik – rintik hujan akhirnya turun membasahi Bumi pertiwi karena teriakan tadi menandakan pemuda tersebut telah menghembusakan nafas terakhirnya

Di bawah rintik hujan, diantara tangisan, diantara rasa menyesal, perasaaan yang tak menentu membuat Iwan kehilangan keseimbangan diantara langit yang kelam oleh mendung dan tangisan Iwan pun jatuh tak sadarkan diri.

Setelah sekitar 4 jam berlalu Iwan pun tersadar dari pingsannya, Iwan baru menyadari ternyata dia sedang berbaring di tenda darurat korban bencana wajah Pak Hendra lah yang terlihat jelas oleh Iwan dan Pak Hendra pun mengeluarkan suaranya yang lembut berbeda sekali dengan Pak Hendra saat memberikan arahan kepada anggota PMR.

“Apa kamu merasa baik – baik saja Wan?”sapa Pak Hendra.
“ Saya baik – baik saja Pak!, bagaimana tentang korban bencana alam?”jawab Iwan.
“Berkat kerja keras kita semua korban bencana dapat kita bantu dan tercatat 56 orang luka – luka, 30 orang meninggal dunia dan 5 orang belum ditemukan!”jelas Pak hendra.
“Apakan sudah selesai Pak penyelamatan korban bencananya, kenapa semua berkumpul disini?”tanya Iwan.
“ Kami semua, tim sar dan warga telah menyetujui bahwa evaluasi korban pada hari ini kita sudahi dulu karena hari sudah malam”jawab Pak Hendra.

Iwan pun terdiam dan berpikir sejenak didalam benaknya ia ingin membantu lebih banyak orang lagi ia ingin menjadi seseorang yang bisa membantu orang lain, dan Pak Hendra pun segera memberi perintah kepada seluruh anggota PMR untuk naik ke mobil box dan akhirnya mereka diantarkan ke rumah masing – masing dan yang rumahnya jauh disarankan untuk menginap di tempat temannya yang dekat dengan sekolah semua akhirnya sampai di rumah termasuk Iwan.

Keesokan harinya adalah bukan hari yang biasa bagi Iwan keseriusan dalam belajar nampak pada raut wajah Iwan, hari demi hari telah berlalu tanpa terasa Iwan sudah melewati Ujian Nasional karena dengan nilai yang luar biasa dan sangat memuaskan, karena prestasi akademiknya yang kiat naik drastis ia memiliki kesempatan untuk seleksi perebutan beasiswa Kedokteran.

Akhirnya dengan usaha yang keras ia bisa mendapatkan beasiswa tersebut apalagi didukung dengan nilai Ujian Nasional yang membanggakan angka 9 berderet menghiasi kelulusannya iwan bagaikan tertimpa durian runtuh, bersamaan dengan itu Adita pun tak mau kalah dengan iwan angka 10 pun berhasil ia raih pada mata pelajaran biologi dan angka 9 juga berderet menyaingi Iwan, Iwan menyakinkan diri untuk menjadi dokter begitu pula Adita.

Mereka berdua ternyata di terima di sebuah Universitas yang sudah terkenal ilmu Kedokterannya, mereka masuk di Universitas yang sama, fakultas yang sama dan kelas yang sama, di setiap hari kuliah mereka seperti sepasang merpati yang tak mungkin lepas kemana – mana selalu berdua dan hanya 1 topik bahasan yang menjadi menu mereka yaitu seputar Ilmu Kedokteran, Iwan dan Adita sangat aktif dan serius dengan Ilmu Kedokteran, S1 dapat mereka raih dengan waktu yang lebih singkat karena indeks prestasi ( IP ) mereka selalu tinggi dan karena kecocokan dan saling mengenal benih – benih cinta pun tumbuh bersemi di antara mereka.

Akhirnya mereka ingin membina hubungan yang lebih serius lagi ke jenjang pernikahan sungguh berita yang sangat menggembirakan, pasangan muda yang sudah menyandang gelar Dokter dan dengan kesuksesan di depan mata karena sudah banyak tawaran dari Rumah Sakit terkemuka yang meminta mereka bekerja untuk rumah sakit tersebut.

Dr. Iwan, ya dialah yang dulu selalu terlambat datang ke Sekolah karena keinginan dan tekad yang bulat ia dapat berubah menjadi seseorang yang lebih baik, ia belajar dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang terbaik.

0 komentar:


Posting Komentar